thelighthousepeople.com, Solusi Nekat Taj Yasin: Kirim Remaja Nakal ke Pesantren? Membina anak muda memang tak semudah membalikkan tangan. Apalagi ketika mereka terjebak dalam gaya hidup yang liar, brutal, dan seringkali melawan arah. Saat sebagian besar orang memilih pendekatan lembut, mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin, justru mengusulkan langkah yang cukup mengejutkan. Daripada terus di bebaskan di jalanan, ia menyarankan agar remaja-remaja pembangkang di kirim ke pesantren. Sontak, banyak pihak langsung mengernyitkan dahi. Tapi tunggu dulu, mari kita kupas lebih dalam gagasannya yang terbilang berani ini.
Pesantren Tempat Hukuman atau Sarana Pembinaan?
Sebagian orang mungkin langsung membayangkan hukuman, cambukan rohani, dan rutinitas keagamaan yang super ketat. Padahal, tidak semua pesantren menonjolkan sisi kerasnya. Justru, banyak pesantren kini mengedepankan pendidikan karakter, etika hidup, dan pembinaan mental yang seimbang antara dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, ketika Taj Yasin melempar wacana soal pengiriman remaja bermasalah ke pesantren, konteksnya bukan sekadar menjebloskan mereka ke tempat sunyi dan di siplin tinggi. Ia ingin menawarkan pola baru di mana anak muda tak sekadar di hukum, tapi juga di ajak berpikir ulang tentang arah hidup mereka.
Dari Teriakan Jalanan ke Dzikir Subuh
Remaja yang gemar membuat onar, tentu sulit di ubah hanya dengan ceramah singkat atau ancaman polisi. Bahkan, ketika mereka di bawa ke balai rehabilitasi atau lembaga sosial, efeknya sering tak bertahan lama. Maka, Taj Yasin mencoba menawarkan suasana baru. Daripada membiarkan mereka terus berkeliaran, mengganggu lingkungan, dan berpotensi terlibat kriminalitas, mengapa tidak di ubah rutenya ke pesantren?
Di tempat itu, suara knalpot liar di gantikan dengan lantunan ayat suci. Teriakan jalanan di geser oleh dzikir subuh. Selain itu, para remaja juga akan di ajak merasakan makna hidup dalam komunitas yang teratur dan berpijak pada nilai.
Pro dan Kontra Langsung Meledak
Namun, ide ini tentu tak semulus aliran sungai di musim hujan. Banyak yang langsung mengkritik: “Apa pesantren tempatnya buangan nakal?” Ada pula yang mempertanyakan, apakah pesantren memang siap menampung anak-anak dengan latar belakang brutal?
Walau begitu, harus di akui, setiap perubahan besar memang selalu memantik debat panas. Sejumlah tokoh pendidikan bahkan mendukung usul ini, asalkan proses seleksi, pendekatan psikologis, dan kesiapan pesantren betul-betul di pertimbangkan. Jangan sampai, justru muncul konflik antara santri lama dan “pendatang baru” yang sedang di bina.
Jejak Nyata dari Pesantren “Spesial”
Di beberapa daerah, model seperti ini sebenarnya sudah berjalan. Beberapa pesantren di Jawa Timur dan Aceh, misalnya, sudah membuka pintu untuk remaja yang sempat tersandung kasus kriminal atau kenakalan ekstrem. Mereka tak langsung di terima, tentu saja. Tapi setelah ada pendekatan awal dan pengawasan, para remaja itu justru tumbuh menjadi pribadi yang lebih stabil.
Ada satu contoh menarik dari pesantren di Pekalongan. Seorang mantan pencopet remaja, yang sempat lima kali masuk tahanan, akhirnya menetap di sana dan kini mengajar adik-adik kelas mengaji. Perubahan drastis itu menjadi bukti bahwa ketika lingkungan mendukung, keajaiban bisa saja terjadi.
Kesimpulan: Menegur Bukan Menghukum, Membina Bukan Menyerah
Taj Yasin mungkin terdengar nekat, tapi setidaknya ia berani memantik di skusi besar tentang masa depan generasi muda. Di tengah krisis moral, banjir pengaruh buruk dari media sosial, dan lemahnya kontrol lingkungan, pendekatan tradisional saja sudah tak cukup. Maka, ide untuk mengembalikan remaja ke lingkungan spiritual bisa jadi bukan sekadar opsi, tapi juga solusi.
Namun, semua itu harus di lakukan dengan bijak. Jangan sampai pesantren di jadikan tempat pembuangan masalah. Justru sebaliknya, mereka harus di libatkan sebagai mitra dalam membentuk karakter anak bangsa. Ketika remaja di bina bukan di hukum, di pandu bukan di takut-takuti, saat itulah perubahan nyata bisa tumbuh dari akar.