Petik Laut Panarukan Persembahan Suci untuk Penguasa Laut

thelighthousepeople.com, Petik Laut Panarukan Persembahan Suci untuk Penguasa Laut Petik Laut Panarukan bukan cuma acara tahunan yang meriah, tapi juga sebuah bentuk kesadaran spiritual warga terhadap laut yang selama ini jadi sumber penghidupan. Dalam setiap gelombang dan hembusan angin, di percaya ada sosok penguasa yang tak kasat mata, namun punya kuasa penuh atas rejeki dan bahaya.

Bukan karena takut, tapi karena rasa hormat yang besar, tradisi ini terus di jaga. Di hari tertentu yang telah di tentukan oleh para sesepuh, warga turun ke pantai dengan wajah khidmat dan pakaian terbaik. Karena mereka tahu, ini bukan sekadar upacara. Ini di alog sakral antara manusia dan lautan.

Kalau di amati, suasananya campur aduk. Antara tegang dan sakral, tapi juga meriah dan hidup. Sebuah perpaduan ajaib yang cuma bisa di rasakan langsung di Panarukan, Situbondo.

Tidak Asal Lempar ke Laut, Tapi Penuh Makna dari Hati yang Dalam

Rangkaian petik laut ini di mulai dari darat. Sesaji di siapkan dengan rapi, berisi hasil bumi dan laut. Tidak sembarangan isi dan bentuk, karena semuanya punya makna. Satu-satunya tujuan: menyenangkan hati sang penguasa laut agar murkanya tak bangkit, dan rezekinya tetap mengalir.

Perahu utama di hias indah, seolah menjadi tandu persembahan yang mengantar harapan dan rasa syukur. Diiringi tabuhan musik tradisional, perahu itu perlahan bergerak ke tengah laut. Sesaji kemudian di lepaskan dengan harapan mengambang: semoga tangkapan tahun ini melimpah, semoga tak ada badai yang merusak jala.

Walaupun sebagian masyarakat hanya ikut untuk meramaikan, esensi sakral tetap terasa kuat. Ritual ini memang bukan tontonan biasa.

Laut Tidak Pernah Berjanji, Tapi Tradisi Petik Laut Panarukan Ini Jadi Penjaga Keseimbangan

Ada satu hal yang tidak pernah di katakan langsung, tapi selalu di mengerti bersama: laut tidak pernah janji akan memberi. Maka manusia tidak bisa seenaknya mengambil. Dari situlah Petik Laut lahir. Sebuah bentuk “izin” sebelum mengambil isi samudra.

Makanya, para nelayan tidak akan merasa tenang bila tradisi ini di lewatkan. Mereka percaya, keseimbangan alam perlu di jaga. Dan salah satu cara menjaga hubungan dengan laut adalah dengan menghormatinya seperti menghormati sesepuh sendiri.

Di balik riuhnya acara, ada doa yang pelan-pelan di bisikkan. Ada hati yang sungguh-sungguh percaya, bahwa penghormatan ini akan di dengar oleh yang harus mendengar.

Warga Berkumpul, Rasa Persaudaraan Menguat, dan Tradisi Tidak Dibiarkan Mati

Petik Laut Panarukan Persembahan Suci untuk Penguasa Laut

Tahun demi tahun, meski dunia makin di gital dan generasi muda sibuk dengan ponsel, Petik Laut tetap berdiri kokoh. Karena ini bukan cuma acara kakek-nenek. Ini tentang identitas, tentang akar yang gak boleh patah.

Anak-anak muda ikut merias perahu. Ibu-ibu menyiapkan sesaji dengan semangat. Bahkan yang merantau pun rela pulang, hanya demi berdiri di bibir pantai dan ikut melepas doa ke cakrawala.

Satu hal yang di rasakan semua yang hadir: hangatnya kebersamaan. Tidak peduli status, semua berdiri sejajar di bawah langit yang sama. Semua punya tanggung jawab yang sama menjaga laut, dan menjaga warisan yang di titipkan turun-temurun.

Waktu Boleh Maju, Tapi Ruh Budaya Petik Laut Panarukan Tetap Dijaga dengan Sepenuh Jiwa

Modernisasi mungkin sudah masuk ke Panarukan. Tapi Petik Laut tetap jadi pengingat bahwa tak semua harus berubah. Tradisi ini tidak sedang di lestarikan hanya karena formalitas. Ia di lakoni karena masih di yakini.

Bahkan, banyak yang merasa energi tempat ini berubah ketika hari Petik Laut tiba. Pantai yang biasanya sepi mendadak hidup. Udara jadi berbeda, seperti membawa wangi dupa dan harapan yang tak terlihat. Dan ketika sesaji akhirnya di lepaskan, seolah ada getaran kecil yang menyusup ke dada.

Itu bukan hal mistis. Itu adalah rasa. Rasa bahwa kita tidak sendiri di dunia ini, bahwa ada kekuatan lain yang menjaga—selama kita tahu caranya menghormati.

Kesimpulan

Di tengah hiruk pikuk zaman yang makin cepat, Petik Laut Panarukan berdiri sebagai jembatan. Jembatan antara daratan dan lautan, antara manusia dan penguasa yang tak terlihat. Tradisi ini mengajarkan bahwa rasa hormat tidak boleh hilang, bahwa alam bukan untuk di taklukkan, tapi di rangkul.

Ribuan langkah menuju pantai, ratusan sesaji yang di bawa, dan satu perahu yang melaju perlahan ke tengah laut semuanya bukan sekadar seremonial. Ini bentuk cinta, bentuk terima kasih, dan sekaligus permohonan agar laut tidak marah. Selama perahu masih melaut dan doa masih di ucapkan di tepi pantai, selama itu pula Petik Laut akan terus hidup. Karena Panarukan bukan cuma tempat. Ia adalah nadi dari ritual yang penuh makna.

By Benito

We would like to show you notifications for the latest news and updates.
Dismiss
Allow Notifications