Narasi Sejarah Bangsa di Zaman Digital, Masihkah Objektif?

thelighthousepeople.com, Narasi Sejarah Bangsa di Zaman Digital, Masihkah Objektif? Dulu, sejarah di tulis dengan tinta dan di simpan dalam lembaran rapuh. Kini, cukup satu unggahan viral, narasi masa lalu bisa terputar ulang seolah baru. Di era di gital, semua bisa bicara soal sejarah. Namun di situlah letak tantangan: siapa yang paling lantang, di alah yang sering di percaya.

Dengan munculnya berbagai platform sosial, ruang debat soal masa lalu jadi semakin terbuka. Tak bisa di pungkiri, tiap pihak punya sudut pandang. Dan ketika algoritma ikut bermain, objektivitas pun jadi barang langka.

Penting di ingat, tak semua yang terdengar meyakinkan berasal dari sumber terpercaya. Banyak narasi sejarah yang akhirnya di kemas ulang, tak lagi berdasarkan fakta, melainkan sesuai selera pembuatnya.

Ketika Sejarah Jadi Komoditas Digital

Konten sejarah hari ini bukan lagi soal kronologi, tapi soal engagement. Semakin panas narasinya, semakin tinggi atensinya. Maka tak heran, kisah-kisah lampau di potong, di pelintir, bahkan di tambah bumbu demi satu hal: perhatian publik.

Meskipun ada banyak upaya dari akademisi dan sejarawan yang mencoba meluruskan, kenyataannya suara mereka sering tertelan oleh gelombang komentar dan likes. Dunia di gital tak lagi sekadar tempat menyimpan informasi, tapi juga ladang adu pengaruh.

Bukan tidak mungkin, masa depan di penuhi generasi yang mengenal sejarah lewat potongan video berdurasi 30 detik yang belum tentu utuh. Ironis, tapi nyata.

Di Tengah Kebisingan, Mana yang Layak Didengar?

Narasi Sejarah Bangsa di Zaman Digital, Masihkah Objektif?

Ketika semua merasa berhak bicara, batas antara fakta dan fiksi jadi kabur. Bahkan, ada kalanya narasi buatan lebih laris di banding catatan resmi. Mungkin karena narasi yang rapi dan emosional memang lebih mudah di cerna di banding tulisan akademik yang kaku.

Namun di sinilah peran kritis masyarakat di uji. Kita tak bisa lagi duduk di am dan menelan mentah-mentah semua yang berseliweran di timeline. Perlu keberanian untuk bertanya, “Siapa yang menulis ini? Apa niatnya?”

Anehnya, orang lebih sering percaya akun dengan followers banyak di banding hasil riset bertahun-tahun dari pakar. Ini bukan soal siapa yang salah, tapi soal bagaimana perhatian telah bergeser jauh dari nilai dasar keilmuan.

Haruskah Kita Menyerah pada Versi Dunia Maya?

Tentu saja tidak. Walau zaman telah berubah, semangat kritis tetap relevan. Meskipun kalimat ini terdengar seperti slogan lama, tapi nyatanya, hanya dengan cara itu kebenaran bisa tetap berdiri.

Di balik gempuran postingan dan narasi instan, masih ada ruang untuk berpikir. Masih ada individu dan komunitas yang peduli pada keutuhan cerita bangsa. Mereka terus menulis, meneliti, dan membagikan catatan sejarah yang jujur meskipun sering kali kalah pamor.

Dan meski sebagian publik terjebak pada versi di gital yang sudah di susun rapi untuk kepentingan tertentu, bukan berarti kita harus ikut larut. Justru saatnya untuk lebih selektif, lebih aktif, dan lebih bijak dalam memilah mana yang layak di percaya.

Kesimpulan: Sejarah Butuh Penjaga, Bukan Sekadar Penonton

Di era di gital, sejarah tak hanya di tulis ulang tapi juga di pertontonkan, di perdebatkan, bahkan di komodifikasi. Di tengah arus besar ini, netralitas menjadi ujian yang berat. Namun bukan berarti mustahil.

Tugas kita bukan untuk membungkam narasi yang berbeda, melainkan untuk terus merawat yang benar. Objektivitas mungkin terdengar klise, namun tetap menjadi pilar penting jika ingin masa lalu tak salah tafsir. Jadi, masihkah sejarah objektif? Jawabannya bergantung pada siapa yang terus memperjuangkan kejujuran, bukan sekadar trending topic.

By Benito

We would like to show you notifications for the latest news and updates.
Dismiss
Allow Notifications